Header Ads

Abaikan Kebijakan, Tentara Romawi Gagal Jaga Perbatasan dari Suku Goth


Sebuah karavan Goth—Thervingi dan Greuthungi—berkumpul di sepanjang sungai Danube, di perbatasan Kekaisaran Romawi.

Goth, koalisi suku Jermanik yang merupakan musuh lama Romawi, memohon untuk diterima di wilayah Romawi. Takut kehilangan nyawa, mereka berharap mendapatkan perlindungan di seberang sungai.

Apa yang menyebabkan mereka mengungsi ke wilayah Romawi?

Sekelompok suku Goth ternyata melarikan diri dari musuh yang semakin dekat di belakang mereka. Musuh itu adalah pasukan Hun yang tidak terkalahkan dan bengis.

Ini terjadi di tahun 376. Tanggapan orang Romawi atas pengungsi ini berdampak besar pada sejarah Kekaisaran Romawi yang luas dan kuat.

Keamanan perbatasan Romawi secara historis efektif, bukan karena hambatan besar, tetapi karena mereka tahu bagaimana mengelola arus migrasi. “Namun kedatangan Goth di tahun 376 menunjukkan apa yang terjadi ketika kebijakan perbatasan yang baik diabaikan,” ungkap Cavan W. Concannon dilansir dari laman Ancient Origins.

Keamanan perbatasan Romawi Kuno

Kedatangan suku-suku Goth ini menciptakan krisis bagi Kekaisaran Romawi akhir. Bagaimana caranya? Untuk memahaminya, pertama-tama kita harus mulai dengan bagaimana bangsa Romawi menangani migrasi suku-suku baru ke wilayah mereka.

Perbatasan Kekaisaran Romawi terus berubah dan selalu dikelola secara fleksibel. Ini terjadi karena kesulitan mengawasi perbatasan besar tanpa teknologi canggih.

Kontrol perbatasan Romawi jarang menggunakan tembok besar, tetapi bergantung pada penghalang alami di lanskap. Ini terutama berlaku di perbatasan utara, yang sangat bergantung pada sungai Rhine dan Danube. Perbatasan Romawi adalah transisi bertahap lebih dari garis keras dan cepat.

Ketika suku-suku yang bermigrasi meminta untuk diterima di kekaisaran, orang Romawi cenderung mengikuti kebijakan yang cukup standar. Suku-suku dipecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan dikirim ke daerah-daerah yang berpenduduk sedikit. Mereka dipaksa untuk menyerahkan senjata, melepaskan kesetiaan kepada para pemimpin suku, dan menyerahkan sejumlah prajurit kepada legiun Romawi.

Kebijakan ini berlangsung selama berabad-abad di kekaisaran tanpa adanya masalah yang berarti. Dengan mengurangi loyalitas suku dan melucuti senjata pendatang, Romawi memperkuat ekonomi, meningkatkan pendapatan pajak, dan memperkuat militer.

Goth di Perbatasan

Kembali ke Goth yang menunggu di sisi utara Danube. Salah satu sumber sejarah utama tentang peristiwa ini adalah sejarawan Romawi abad keempat Ammianus Marcellinus.

Menurut Ammianus, salah satu suku Goth,Thervingi, mengirim utusan ke Kaisar Romawi timur Valens untuk meminta izin masuk ke kekaisaran. Mereka ingin menetap dan berjanji menyumbangkan tentara ke tentara Romawi. Tentu saja tawaran ini menyenangkan kaisar dan penduduk setempat.

Thervingi menawarkan penyangga yang kuat terhadap kelompok suku lain yang berpotensi tidak bersahabat. “Mereka juga akan memberikan tentara dan pendapatan pajak baru,” tambah Carconnan.

Maka, Valens menyambut mereka untuk menyeberang.

Musim gugur itu, sejumlah besar Thervingi menyeberangi sungai, yang meluap karena hujan baru-baru ini. Mereka melakukan perjalanan dengan perahu apa pun yang dapat ditemukan.

Pada titik ini, segalanya berjalan buruk bagi Thervingi. Banyak yang tewas selama penyeberangan berbahaya. Orang Romawi mengizinkan lebih banyak Thervingi untuk menyeberang. Komandan militer Romawi setempat, Lupicinus dan Maximus, menahan persediaan yang telah disediakan kaisar untuk Thervingi. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.

Ammianus mengatakan, “Situasinya membuat suku itu putus asa. Bahkan keluarga kepala suku Thervingi menjual putra mereka sebagai budak untuk mendapatkan daging anjing.”

Orang Romawi melihat para migran dari utara ini sebagai orang yang tidak beradab dan tidak rasional. Tampaknya komandan Romawi merasa dibenarkan untuk berperilaku buruk terhadap orang Goth karena prasangka Romawi terhadap ‘orang barbar’.

Perlakuan buruk mendapatkan balasan yang buruk pula

Bangsa Romawi mengabaikan semua protokol biasa mereka untuk menerima suku-suku baru ke dalam kekaisaran.

Untuk beberapa alasan, Thervingi yang baru tiba tidak dipaksa untuk menyerahkan senjata. Juga tidak ada suku yang dipecah menjadi unit yang lebih kecil untuk disebar ke berbagai daerah. Ini mungkin karena Romawi mengizinkan terlalu banyak Thervingi untuk menyeberang, membuat pasukan militer Romawi kalah jumlah. Jadi, alih-alih mengikuti aturan yang sudah dibuat sebelumnya, tentara Romawi justru mengabaikannya.

Suku Goth lainnya yang berkumpul di Danube, Greuthungi, berada di posisi yang berbeda. Valens telah menolak permintaan utusan mereka untuk masuk ke kekaisaran.

Mereka sama putus asanya untuk menyeberang ke wilayah Romawi seperti Thervingi. Melihat bahwa Romawi kewalahan, Greuthungi menyeberangi Danube sendiri, lebih jauh ke timur.

Ketika kondisi di antara Thervingi terus memburuk, Lupicinus membuat permainan putus asa untuk menjaga mereka tetap sejalan. Dia mengundang para pemimpin mereka, Alavivus dan Fritigern, ke pesta makan malam dan segera menyandera mereka.

Ketika Thervingi mulai memberontak sebagai tanggapan, Fritigern mampu meyakinkan Lupicinus untuk membiarkannya pergi untuk menenangkan situasi.

Tetapi setelah mendapatkan kebebasannya, Fritigern mengingkari janjinya kepada Lupicinus dan memobilisasi Thervingi, yang kemudian bersekutu dengan Greuthungi.

Hasilnya adalah suku Goth yang tidak dipecah-pecah dan masih memiliki senjata pun Bersatu.

Kebijakan yang tidak dijalankan

Maka dimulailah perang enam tahun yang akan menghancurkan wilayah itu dan menyebabkan banyak orang mati, termasuk Kaisar Valens. Kaisar ini tewas melawan Goth di Pertempuran Adrianople pada tahun 378.

Perdamaian akhirnya ditengahi dengan Goth di 382 oleh Theodosius I. Ia mengizinkan suku Goth untuk menetap di wilayah Romawi sebagai federasi pemerintahan sendiri antara Danube dan pegunungan Balkan.

Tetapi sebagai negara merdeka dalam wilayah Romawi, Goth tidak pernah terintegrasi ke dalam masyarakat Romawi dan tetap menjadi sumber ketidakstabilan politik.

Kegagalan kebijakan perbatasan Romawi pada periode menjelang Pertempuran Adrianopel menjadi pelajaran. Ini menjadi pengingat bahwa kekuatan yang mendorong migrasi manusia tidak dapat dihentikan dengan kekuatan militer atau tembok perbatasan.

Sebaliknya, mereka membutuhkan kebijakan yang cerdas dan hati-hati yang mengelola arus alih-alih mencoba menahannya.

Peristiwa tahun 376 mirip dengan beberapa kasus migrasi di berbagai tempat di zaman modern. Ketika ketidakstabilan politik berlanjut dan iklim terus menghangat, semakin banyak migran akan tiba di perbatasan negara.

Kebijakan pemukiman kembali Romawi mungkin bukan solusi yang layak untuk perdebatan imigrasi saat ini. Tetapi kita bisa dari kesalahan bangsa Romawi yang mengabaikan apa yang berhasil bagi mereka di masa lalu.  

No comments

Powered by Blogger.