Badai Debu Memainkan Peran Penting Dalam Mengeringkan Planet Merah
Planet Merah adalah satu-satunya planet terdekat dengan Bumi yang paling menjadi pusat perhatian dari para ilmuwan. Disatu teori mengatakan bahwa planet Mars pernah memiliki suatu kondisi yang mirip seperti Bumi. Hanya saja, pertanyaannya adalah jika memang Mars pernah memiliki air, maka kemanakah semua air tersebut menghilang?
Pertanyaan itu telah lama menjadi salah satu teka-teki. Seperti yang diketahui bahwa atmosfer yang dimiliki oleh Mars jauh lebih tipis dari atmosfer Bumi. Namun, meskipun begitu, kondisi tersebut tetap saja menimbulkan adanya angin di Mars. Angin yang bertiup tersebut akan mengambil partikel debu kering yang halus dan terjadilah apa yang disebut sebagai ‘badai debu Mars’.
Para ilmuwan yakin, Mars di masa lalu kondisinya hangat dan basah seperti di Bumi, lalu ia kehilangan sebagian besar airnya ke luar angkasa. Mengenai bagaimana hal itu bisa terjadi, hingga saat ini masih belum mendapatkan jawabannya.
Akan tetapi, para ilmuwan dari Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP) di University of Colorado Boulder sepertinya telah menemukan jawaban yang dicari. Mereka melakukan sebuah penelitian yang menemukan bahwa badai debu di Mars menjadi pemeran utama dalam mengeringnya planet tersebut.
Dilansir dari Techexplorist.com, Michael Chaffin, seorang peneliti di LASP, mengatakan, “Yang harus Anda lakukan untuk kehilangan air secara permanen adalah kehilangan satu atom hidrogen, karena hidrogen dan oksigen tidak dapat bergabung kembali menjadi air. Jadi, ketika Anda kehilangan atom hidrogen, Anda kehilangan satu molekul air.”
Menurut hasil dari pengamatan yang telah dilakukan oleh tiga pesawat ruang angkasa yang mengorbit Mars pada Januari dan Februari 2019 memberikan data kepada ilmuwan bahwa Mars kehilangan dua kali lipat jumlah air selama terjadinya badai debu, daripada keadaan yang lebih tenang.
Hal ini berarti badai debu dapat memanaskan atmosfer Mars, sehingga mengakibatkan angin yang melempar uap air ke ketinggian yang lebih tinggi daripada biasanya. Uap air yang berada pada ketinggian seperti ini tentu menjadi sangat rentan terhadap radiasi ultraviolet Matahari, sehingga dapat mengurainya menjadi komponen hidrogen dan oksigen yang lebih ringan. Dikarenakan hydrogen merupakan unsure yang lebih ringan, maka ia akan mudah hilang ke luar angkasa.
Geronimo Villanueva, ahli air Mars di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA dan rekan penulis makalah Chaffin, mengatakan, “Makalah ini membantu kita kembali ke masa lalu dan berkata, 'Oke, sekarang kita memiliki cara lain untuk kehilangan air yang akan membantu kita. Kita menghubungkan sedikit air yang kita miliki di Mars hari ini dengan jumlah air yang sangat banyak yang kita miliki di masa lalu.” Hasil kajian mereka mengenai hal ini telah diterbitkan dalam Jurnal Nature Astronomy pada 16 Agustus 2021 yang berjudul ‘Martian water loss to space enhanced by regional dust storms’.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh pesawat ruang angkasa milik Eropa Trace Gas Orbiter yang telah mengukur konsentrasi uap air dan es di ketinggian 100 kilometer menemukan bahwa sepuluh kali lebih banyak air ada di atmosfer tengah setelah terjadinya badai debu. Ini bertepatan dengan data persis yang diterima dari radiometer inframerah oleh Mars Reconnaissance Orbiter NASA. Sedangkan pengamatan yang dilakukan oleh pesawat ruang angkasa MAVEN milik NASA juga memberikan data yang sama, yaitu adanya peningkatan 50 persen hidrogen selama badai berlangsung.
Dari data-data ketiga pesawat ruang angkasa tersebutlah maka ilmuwan menyimpulkan bahwa badai debu telah memainkan peran penting yang mendukung terjadinya proses menghilangnya air di Mars.
“Gambar dari pencitraan spektrograf ultraviolet MAVEN mengkonfirmasi bahwa sebelum badai 2019, awan es dapat terlihat melayang di atas gunung berapi yang menjulang tinggi di wilayah Tharsis di Mars. Karena es tidak dapat lagi mengembun di dekat permukaan yang lebih hangat, awan-awan ini pun menghilang sepenuhnya ketika badai debu sedang berayun penuh dan kemudian muncul kembali setelah badai debu berakhir.” kata Villanueva.
“Secara kolektif, data dari tiga pesawat ruang angkasa telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana badai debu regional dapat membantu air Mars keluar. Semua instrumen harus menceritakan kisah yang sama, dan memang begitulah yang terjadi.” pungkas Villanueva.
Studi seperti ini memberikan gambaran tentang kekuatan lintas misi dan kolaborasi internasional untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan tentang Mars. Ini adalah pertama kalinya begitu banyak misi namun terfokus pada satu peristiwa.
Post a Comment