Butuh 10 Juta Tahun Bumi Pulih dari Kepunahan Besar Permian, Mengapa?
252 juta tahun yang lalu, periode Permian berakhir. Pada waktu itulah, Bumi mengalami kepunahan massal yang bisa memusnahkan lebih dari 90 persen spesies. Di dunia paleontologi, periode Permian berganti menjadi periode Trias, di mana keduanya tetap diisi oleh banyak reptil besar.
Akan tetapi, "Kepunahan Hebat" ini membutuhkan waktu pemulihan yang tentunya berlangsung lambat. Butuh waktu 10 juta tahun dari bencana itu bagi Bumi untuk bisa dihuni kembali dan keanekaragamannya pulih.
Namun, apa yang membuatnya begitu lama pulih? Apa yang terjadi sebenarnya dengan Bumi selama 10 juta tahun lamanya untuk menghadirkan kembali kehidupan yang nyaris tiada? Sebuah penelitian terbaru di Nature Geoscience yang diterbitkan 3 Oktober 2022, menemukan jawabannya.
Selama ini, para peneliti yang terlibat dalam penulisan makalah, mencoba memahami perubahan iklim Bumi selama akhir Permian dan awal Trias. Secara geologis, benua-benua yang kita kenal tergabung menjadi satu daratan besar Pangea.
Apa yang kita kenal sebagai Perangkap Siberia (Siberian Traps) di Rusia bagian tengah, merupakan blok gunung berapi besar di masa Permian. Gas rumah kaca tersembur, menghangatkan Bumi, dan mungkin berkontribusi pada peristiwa kepunahan yang menyebabkan kematian beruntun berbagai spesies.
Lewat studi berjudul "Persistent late permian to early triassic warmth linked to enhanced reverse weathering" itu, para peneliti mempelajari proses pelapukan kimia. Rupanya kalsium dan karbon dioksida menjadi batuan karbonat. Pelapukan makin terjadi jika iklim makin hangat, dan menyebabkan lebih banyak erosi.
"Ketika lebih hangat dan pelapukan lebih cepat, lebih banyak karbon dioksida mengalir ke laut dan terkunci di bebatuan laut, membantu mendinginkan iklim," terang rekan penulis studi Clément Bataille, profesor di Earth and Environmental Sciences di University of Ottawa, Kanada, dikutip dari Live Science. Ketika iklim mendingin, pelapukan melambat dan lebih sedikit karbon dioksida yang terperangkap di bebatuan laut, sehingga mencegah suhu sangat dingin.
Namun, para peneliti menjelaskan, ada proses lain yang bisa terjadi di lautan, yakni pelapukan terbalik. Ketika banyaknya mineral silika, dapat membentuk lempung baru di dasar laut. Selama proses ini, karbon dioksida dilepaskan lebih banyak daripada yang ditangkap.
Pada hari ini, silika tidak semelimpah itu karena organisme plankton kecil mengambilnya sebagai cangkang. Itu sebabnya pelapukan terbalik tidak banyak terjadi seperti babak akhir Permian dan awal Trias. Pada masa Permian, radiolaria, organisme laut kecil mengambil hampir semua silika, sehingga pelapukan terbalik sangat jarang.
Silika tidak melimpah di lautan saat ini karena organisme plankton kecil mengambilnya untuk membuat cangkangnya, sehingga pelapukan terbalik tidak banyak terjadi. Demikian pula, di Permian, organisme kecil yang disebut radiolaria mengambil hampir semua silika, sehingga menjaga pelapukan terbalik seminimal mungkin.
Dengan kata lain, geokimia laut berubah secara radikal akibat organisme laut kecil lenyap setelah kepunahan. Perubahan radikal ini memungkinkan jenis formasi tanah liat yang dapat melepaskan karbon dioksida. Pada akhirnya, karbon dioksida membuat atmosfer tetap hangat dan laut bersifat asam.
"Ini jelas menunjukkan betapa kita tidak tahu tentang siklus biogeokimia ini dan bagaimana sedikit perubahan dapat benar-benar membuat sistem tidak seimbang dengan sangat cepat," terang Bataille.
Lewat kajian kimia pada beberapa sisa "Kepunahan Besar" zaman Permian inilah para peneliti mengungkap teori tentang mengapa lama sekali kehidupan pulih. Namun, penelitian ini menimbulkan pertanyaan baru untuk bisa diungkap: apa yang membunuh radiolarian? Bisa jadi mikroorganisme ini sudah berjuang sebelum Perangkap Siberia bergejolak.
Post a Comment