Hasil Studi: Suara Kita ternyata Akan Berbeda, Tergantung Siapa yang Dihadapi
Bayangkan kamu menghadiri wawancara kerja, dan pewawancara yang duduk di depanmu kelihatan intimidatif. Mukanya galak. Perawakannya besar dan suaranya menggelegar. Menurutmu, apakan pewawancara yang intimidatif ini akan berpengaruh pada nyalimu? Tingkah polahmu? Atau malah suaramu?
Sebuah penelitian menemukan bahwa perempuan dan laki-laki umumnya bicara dengan nada tinggi, bila dihadapkan dengan pewawancara yang menurut mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi. Biarpun begitu, temuan lainnya menunjukkan orang-orang yang memiliki kepribadian dominan lebih jarang menggonta-ganti nada bicaranya.
Biasanya, mereka memakai nada rendah saat bicara dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Di sisi lain, mereka yang menganggap dirinya menduduki posisi bergengsi bicara dengan nada yang terukur. Mereka jarang menaikkan atau menurunkan nada bicaranya.
Dominasi dan gengsi adalah dua cara untuk mencapai status sosial yang tinggi. Dominasi diperoleh dengan mengambil kuasa secara paksa atau dengan menggunakan kekerasan (contohnya, siswa tukang bully di sekolah), sementara gengsi diberikan pada seseorang dengan cuma-Cuma, karena perbuatan atau kemampuan tersebut (contohnya, guru-guru di sekolah).
Mungkin, salah satu alasan perempuan dan laki-laki bicara dengan nada tinggi saat berhadapan dengan lawan bicara yang punya status sosial lebih tinggi, adalah karena suara nada rendah terdengar dominan, terutama pada kaum pria.
Sebaliknya, suara nada tinggi relatif lebih terdengar submisif. Nada bicara yang tinggi adalah sinyal bagi pewawancara bahwa pelamar bukan ancaman. Pemilihan nada tinggi juga bisa dipahami sebagai usaha menghindari konfrontasi.
Perbedaan yang kita temukan pada status sosial peserta (dominasi sama dengan nada rendah, prestise tinggi sama dengan volume konstan) menyiratkan bahwa ada hubungan antara persepsi diri terhadap status sosial dan perilaku terhadap orang lain.
Sebuah penelitian menemukan bahwa perempuan dan laki-laki umumnya bicara dengan nada tinggi, bila dihadapkan dengan pewawancara yang menurut mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi. Biarpun begitu, temuan lainnya menunjukkan orang-orang yang memiliki kepribadian dominan lebih jarang menggonta-ganti nada bicaranya.
Biasanya, mereka memakai nada rendah saat bicara dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Di sisi lain, mereka yang menganggap dirinya menduduki posisi bergengsi bicara dengan nada yang terukur. Mereka jarang menaikkan atau menurunkan nada bicaranya.
Dominasi dan gengsi adalah dua cara untuk mencapai status sosial yang tinggi. Dominasi diperoleh dengan mengambil kuasa secara paksa atau dengan menggunakan kekerasan (contohnya, siswa tukang bully di sekolah), sementara gengsi diberikan pada seseorang dengan cuma-Cuma, karena perbuatan atau kemampuan tersebut (contohnya, guru-guru di sekolah).
Mungkin, salah satu alasan perempuan dan laki-laki bicara dengan nada tinggi saat berhadapan dengan lawan bicara yang punya status sosial lebih tinggi, adalah karena suara nada rendah terdengar dominan, terutama pada kaum pria.
Sebaliknya, suara nada tinggi relatif lebih terdengar submisif. Nada bicara yang tinggi adalah sinyal bagi pewawancara bahwa pelamar bukan ancaman. Pemilihan nada tinggi juga bisa dipahami sebagai usaha menghindari konfrontasi.
Perbedaan yang kita temukan pada status sosial peserta (dominasi sama dengan nada rendah, prestise tinggi sama dengan volume konstan) menyiratkan bahwa ada hubungan antara persepsi diri terhadap status sosial dan perilaku terhadap orang lain.
Semakin dominan, kamu semakin tidak perlu khawatir soal dominasi orang lain. Jadi, kamu akan ngomong sesukanya. Di waktu yang sama, semakin kamu merasa prestisius, semakin kamu santai dan rileks, yang menjadi alasan orang-orang memerhatikanmu.
Eksperimen ‘wawancara palsu’
Dalam penelitian, peneliti meminta 48 peserta untuk duduk di hadapan komputer sambil mengenakan headset dan kamera website diarahkan pada mereka, untuk menguji “bentuk baru prosedur wawancara online.” Ini adalah sebuah kelicikan, tapi mereka mau semua orang percaya bahwa pewawancara yang mereka lihat di layar nyata dan akan mendengarkan dan melihat rekamannya nanti.
Peserta ditunjuki sebuah gambar, nama, titel pekerjaan perekrut, dan testimoni pegawai, semuanya fiksi. Lalu mereka diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan.
Ada tiga perekrut dan foto-foto mereka dibuat lewat sebuah program bernama EvoFit, supaya terlihat dominan atau prestisius. Setelah itu, peneliti meminta foto-foto itu diberi nilai oleh peserta berbeda, dan memilih foto-foto yang dinilai paling dominan dan prestisius. Peneliti juga memilih satu yang dinilai rendah dari segi dominasi dan prestise, dan ini mereka jadikan perekrut yang netral.
Dengan memadukan foto-foto dengan testimoni, nama, dan titel pekerjaan, peneliti bisa menciptakan perekrut yang memiliki dominasi dan prestise tinggi, atau rata-rata atau netral. Saat diwawancara oleh perekrut dominan dan prestisius, suara peserta jadi lebih tinggi. Saat ngobrol dengan perekrut netral, mereka tidak mengubah cara berbicara.
Peneliti juga melihat bagaimana tipe-tipe pertanyaan yang berbeda memengaruhi karakteristik suara. Misalnya, orang-orang akan mengubah cara mereka berbicara saat diminta memperkenalkan diri, dibandingkan dengan saat ditanya “bagaimana kamu akan mendekati atasanmu untuk mendiskusikan sebuah masalah dengan seorang kolega?”
Seperti yang kamu bayangkan, pertanyaan yang kedua, yang lebih interpersonal dan membutuhkan seseorang untuk mendiskusikan sebuah konflik, menyebabkan lebih banyak perubahaan ujaran dibandingkan pertanyaan perkenalan diri.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa kita secara halus memanipulasi suara-suara kita untuk menyesuaikan dengan konteks sosial yang kita hadapi—seperti berbicara dengan perekrut yang intimidatif. Kita biasanya melakukan ini semua tanpa berpikir.
Manipulasi-manipulasi ini, mempengaruhi cara kita dipandang. Seperti postur tubuh, bahasa yang kita gunakan, atau bentuk wajah dan ekspresi kita, suara-suara kita menjadi bagian dari sinyal yang memengaruhi persepsi status sosial kita.
Eksperimen ‘wawancara palsu’
Dalam penelitian, peneliti meminta 48 peserta untuk duduk di hadapan komputer sambil mengenakan headset dan kamera website diarahkan pada mereka, untuk menguji “bentuk baru prosedur wawancara online.” Ini adalah sebuah kelicikan, tapi mereka mau semua orang percaya bahwa pewawancara yang mereka lihat di layar nyata dan akan mendengarkan dan melihat rekamannya nanti.
Peserta ditunjuki sebuah gambar, nama, titel pekerjaan perekrut, dan testimoni pegawai, semuanya fiksi. Lalu mereka diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan.
Ada tiga perekrut dan foto-foto mereka dibuat lewat sebuah program bernama EvoFit, supaya terlihat dominan atau prestisius. Setelah itu, peneliti meminta foto-foto itu diberi nilai oleh peserta berbeda, dan memilih foto-foto yang dinilai paling dominan dan prestisius. Peneliti juga memilih satu yang dinilai rendah dari segi dominasi dan prestise, dan ini mereka jadikan perekrut yang netral.
Dengan memadukan foto-foto dengan testimoni, nama, dan titel pekerjaan, peneliti bisa menciptakan perekrut yang memiliki dominasi dan prestise tinggi, atau rata-rata atau netral. Saat diwawancara oleh perekrut dominan dan prestisius, suara peserta jadi lebih tinggi. Saat ngobrol dengan perekrut netral, mereka tidak mengubah cara berbicara.
Peneliti juga melihat bagaimana tipe-tipe pertanyaan yang berbeda memengaruhi karakteristik suara. Misalnya, orang-orang akan mengubah cara mereka berbicara saat diminta memperkenalkan diri, dibandingkan dengan saat ditanya “bagaimana kamu akan mendekati atasanmu untuk mendiskusikan sebuah masalah dengan seorang kolega?”
Seperti yang kamu bayangkan, pertanyaan yang kedua, yang lebih interpersonal dan membutuhkan seseorang untuk mendiskusikan sebuah konflik, menyebabkan lebih banyak perubahaan ujaran dibandingkan pertanyaan perkenalan diri.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa kita secara halus memanipulasi suara-suara kita untuk menyesuaikan dengan konteks sosial yang kita hadapi—seperti berbicara dengan perekrut yang intimidatif. Kita biasanya melakukan ini semua tanpa berpikir.
Manipulasi-manipulasi ini, mempengaruhi cara kita dipandang. Seperti postur tubuh, bahasa yang kita gunakan, atau bentuk wajah dan ekspresi kita, suara-suara kita menjadi bagian dari sinyal yang memengaruhi persepsi status sosial kita.
Post a Comment